Jumat, 15 April 2016

Kamu Tahu

Kamu tahu itu tidak benar tapi kamu membiarkannya
Kamu tahu itu tidak sesuai tapi kamu tetap diam
Kamu tahu yang benar bagaimana tapi kamu menyimpannya sendiri
Kamu tahu kamu dibutuhkan tapi kamu tidak bergerak
Kamu tahu sekaranglah giliranmu tapi kamu menolak

Kamu tahu, tapi kamu hanya sebatas tahu

Dan kamu meminta orang lain untuk mengerti sedangkan kamu tetap di tempat dan asyik dengan zona nyamanmu
Kamu meminta orang lain menunggu padahal mereka tak lama lagi akan tiba di tempat yang sama denganmu
Kamu meminta orang lain memaklumi jalanmu saat harusnya kamu sudah berlari jauh

Lalu dibagian mana yang menggambarkan sebuah perjuangan untuk rumahmu? Rumah yang selama ini telah memberikan banyak hal untukmu.

Jumat, 08 April 2016

Harapan itu Masih Ada

Diumur sembilan tahun harapan itu tumbuh dan selalu mekar tiap kali bertemu. Pagi itu, seperti biasa di hari Minggu aku harus pergi untuk ke sanggar tari. Lumayan dekat dari rumah, sanggar tari itu ada di belakang THR, hmm lebih tepatnya di belakang Hi Tech Mall. Tentu saja aku berangkat dengan semangat, karena itu satu-satunya kegiatan di luar sekolah yang membuatku terlihat sibuk. Hehehe.

Karena sudah sering ke sanggar, hafal dengan rute jalannya. Bertemu dengan sekolah yang sangat-sangat super di Surabaya. Sekolah idaman. Sekolah "orang-orang besar" kata ayah.

"Bismillah."

Tekad itu tumbuh seiring umurku bertambah.

Pernah saat berangkat ke sanggar di hari-hari kerja karena harus latihan intensif (maklum, ada lomba). Sekolah itu benar-benar hidup. Aku melihat begitu banyak siswa dengan wajah-wajah sangarnya, dengan raut muka begitu percaya diri dengan potensinya.

"Sabar, Hil. Beberapa tahun lagi. Bismillah."

Jujur saat pengunguman PPDB SMP sempat sedih karena tidak mendapat pilihan pertama. Tapi Ibu selalu mengingatkan bahwa rencana Allah pasti yang terbaik.

Lama-lama harapan ini menjadi sebuah target yang harus dicapai. Sebenarnya sebuah motivasi melihat sahabat sendiri bisa belajar disana, kenapa aku tidak?

Dan kini, setelah sudah menjadi bagian darinya. Harapan itu masih ada, harapan ini tidak akan berhenti sekarang, tidak nanti maupun juga besok.

Ya Allah, dampingilah aku dan teman-teman untuk tetap menjaga harapan kami dan harapan para penerus maupun pendahulu kami. Agar tetap jaya namanya, agar tetap bisa mencetak calon pemimpin peradaban.

Aamiin...

#SlamaneSmalane

Selasa, 05 April 2016

nggak perlu jadi orang lain untuk terlihat baik

Akhirnya menemukan sesuatu yang selama ini selalu jadi pikiran. Selamat membaca :)


Karena Ukuran Kita Tak Sama
oleh Salim A. Fillah dalam Inspirasi. 02/04/2012

Seperti sepatu yang kita pakai, tiap kaki memiliki ukurannya
memaksakan tapal kecil untuk telapak besar akan menyakiti
memaksakan sepatu besar untuk tapal kecil merepotkan
kaki-kaki yang nyaman dalam sepatunya akan berbaris rapi-rapi
Seorang lelaki tinggi besar berlari-lari di tengah padang. Siang itu, mentari seakan didekatkan hingga sejengkal. Pasir membara, ranting-ranting menyala dalam tiupan angin yang keras dan panas. Dan lelaki itu masih berlari-lari. Lelaki itu menutupi wajah dari pasir yang beterbangan dengan surbannya, mengejar dan menggiring seekor anak unta.
Di padang gembalaan tak jauh darinya, berdiri sebuah dangau pribadi berjendela. Sang pemilik, ’Utsman ibn ‘Affan, sedang beristirahat sambil melantun Al Quran, dengan menyanding air sejuk dan buah-buahan. Ketika melihat lelaki nan berlari-lari itu dan mengenalnya,
“Masya Allah” ’Utsman berseru, ”Bukankah itu Amirul Mukminin?!”
Ya, lelaki tinggi besar itu adalah ‘Umar ibn Al Khaththab.
”Ya Amirul Mukminin!” teriak ‘Utsman sekuat tenaga dari pintu dangaunya,
“Apa yang kau lakukan tengah angin ganas ini? Masuklah kemari!”
Dinding dangau di samping Utsman berderak keras diterpa angin yang deras.
”Seekor unta zakat terpisah dari kawanannya. Aku takut Allah akan menanyakannya padaku. Aku akan menangkapnya. Masuklah hai ‘Utsman!” ’Umar berteriak dari kejauhan. Suaranya bersiponggang menggema memenuhi lembah dan bukit di sekalian padang.
“Masuklah kemari!” seru ‘Utsman,“Akan kusuruh pembantuku menangkapnya untukmu!”.
”Tidak!”, balas ‘Umar, “Masuklah ‘Utsman! Masuklah!”
“Demi Allah, hai Amirul Mukminin, kemarilah, Insya Allah unta itu akan kita dapatkan kembali.“
“Tidak, ini tanggung jawabku. Masuklah engkau hai ‘Utsman, anginnya makin keras, badai pasirnya mengganas!”
Angin makin kencang membawa butiran pasir membara. ‘Utsman pun masuk dan menutup pintu dangaunya. Dia bersandar dibaliknya & bergumam,
”Demi Allah, benarlah Dia & RasulNya. Engkau memang bagai Musa. Seorang yang kuat lagi terpercaya.”
‘Umar memang bukan ‘Utsman. Pun juga sebaliknya. Mereka berbeda, dan masing-masing menjadi unik dengan watak khas yang dimiliki.
‘Umar, jagoan yang biasa bergulat di Ukazh, tumbuh di tengah bani Makhzum nan keras & bani Adi nan jantan, kini memimpin kaum mukminin. Sifat-sifat itu –keras, jantan, tegas, tanggungjawab & ringan tangan turun gelanggang – dibawa ‘Umar, menjadi ciri khas kepemimpinannya.
‘Utsman, lelaki pemalu, anak tersayang kabilahnya, datang dari keluarga bani ‘Umayyah yang kaya raya dan terbiasa hidup nyaman sentausa. ’Umar tahu itu. Maka tak dimintanya ‘Utsman ikut turun ke sengatan mentari bersamanya mengejar unta zakat yang melarikan diri. Tidak. Itu bukan kebiasaan ‘Utsman. Rasa malulah yang menjadi akhlaq cantiknya. Kehalusan budi perhiasannya. Kedermawanan yang jadi jiwanya. Andai ‘Utsman jadi menyuruh sahayanya mengejar unta zakat itu; sang budak pasti dibebaskan karena Allah & dibekalinya bertimbun dinar.
Itulah ‘Umar. Dan inilah ‘Utsman. Mereka berbeda.
Bagaimanapun, Anas ibn Malik bersaksi bahwa ‘Utsman berusaha keras meneladani sebagian perilaku mulia ‘Umar sejauh jangkauan dirinya. Hidup sederhana ketika menjabat sebagai Khalifah misalnya.
“Suatu hari aku melihat ‘Utsman berkhutbah di mimbar Nabi ShallaLlaahu ‘Alaihi wa Sallam di Masjid Nabawi,” kata Anas . “Aku menghitung tambalan di surban dan jubah ‘Utsman”, lanjut Anas, “Dan kutemukan tak kurang dari tiga puluh dua jahitan.”
Dalam Dekapan ukhuwah, kita punya ukuran-ukuran yang tak serupa. Kita memiliki latar belakang yang berlainan. Maka tindak utama yang harus kita punya adalah; jangan mengukur orang dengan baju kita sendiri, atau baju milik tokoh lain lagi.
Dalam dekapan ukhuwah setiap manusia tetaplah dirinya. Tak ada yang berhak memaksa sesamanya untuk menjadi sesiapa yang ada dalam angannya.
Dalam dekapan ukhuwah, berilah nasehat tulus pada saudara yang sedang diberi amanah memimpin umat. Tetapi jangan membebani dengan cara membandingkan dia terus-menerus kepada ‘Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz.
Dalam dekapan ukhuwah, berilah nasehat pada saudara yang tengah diamanahi kekayaan. Tetapi jangan membebaninya dengan cara menyebut-nyebut selalu kisah berinfaqnya ‘Abdurrahman ibn ‘Auf.
Dalam dekapan ukhuwah, berilah nasehat saudara yang dianugerahi ilmu. Tapi jangan membuatnya merasa berat dengan menuntutnya agar menjadi Zaid ibn Tsabit yang menguasai bahawa Ibrani dalam empat belas hari.
Sungguh tidak bijak menuntut seseorang untuk menjadi orang lain di zaman yang sama, apalagi menggugatnya agar tepat seperti tokoh lain pada masa yang berbeda. ‘Ali ibn Abi Thalib yang pernah diperlakukan begitu, punya jawaban yang telak dan lucu.
“Dulu di zaman khalifah Abu Bakar dan ‘Umar” kata lelaki kepada ‘Ali, “Keadaannya begitu tentram, damai dan penuh berkah. Mengapa di masa kekhalifahanmu, hai Amirul Mukminin, keadaanya begini kacau dan rusak?”
“Sebab,” kata ‘Ali sambil tersenyum, “Pada zaman Abu Bakar dan ‘Umar, rakyatnya seperti aku.
Adapun di zamanku ini, rakyatnya seperti kamu!”
Dalam dekapan ukhuwah, segala kecemerlangan generasi Salaf memang ada untuk kita teladani. Tetapi caranya bukan menuntut orang lain berperilaku seperti halnya Abu Bakar, ‘Umar, “Utsman atau ‘Ali.
Sebagaimana Nabi tidak meminta Sa’d ibn Abi Waqqash melakukan peran Abu Bakar, fahamilah dalam-dalam tiap pribadi. Selebihnya jadikanlah diri kita sebagai orang paling berhak meneladani mereka. Tuntutlah diri untuk berperilaku sebagaimana para salafush shalih dan sesudah itu tak perlu sakit hati jika kawan-kawan lain tak mengikuti.
Sebab teladan yang masih menuntut sesama untuk juga menjadi teladan, akan kehilangan makna keteladanan itu sendiri. Maka jadilah kita teladan yang sunyi dalam dekapan ukhuwah.
Ialah teladan yang memahami bahwa masing-masing hati memiliki kecenderungannya, masing-masing badan memiliki pakaiannya dan masing-masing kaki mempunyai sepatunya. Teladan yang tak bersyarat dan sunyi akan membawa damai. Dalam damai pula keteladannya akan menjadi ikutan sepanjang masa.
Selanjutnya, kita harus belajar untuk menerima bahwa sudut pandang orang lain adalah juga sudut pandang yang absah. Sebagai sesama mukmin, perbedaan dalam hal-hal bukan asasi
tak lagi terpisah sebagai “haq” dan “bathil”. Istilah yang tepat adalah “shawab” dan “khatha”.
Tempaan pengalaman yang tak serupa akan membuatnya lebih berlainan lagi antara satu dengan yang lain.
Seyakin-yakinnya kita dengan apa yang kita pahami, itu tidak seharusnya membuat kita terbutakan dari kebenaran yang lebih bercahaya.
Imam Asy Syafi’i pernah menyatakan hal ini dengan indah. “Pendapatku ini benar,” ujar beliau,”Tetapi mungkin mengandung kesalahan. Adapun pendapat orang lain itu salah, namun bisa jadi mengandung kebenaran.”
sepenuh cinta,
Salim A. Fillah

Senin, 04 April 2016

Semangat, Hil!

Mimpi, cita-cita, keinginan, target, tujuan.

Kadang kita lupa, punya target tinggi berarti usaha yang dilakukan pun juga harus tinggi, diatas rata-rata. Tidak bisa target tinggi dibayar dengan usaha yang murah. Mesti mahal dan penuh pengorbanan. 

Kemarin semua jadi lebih jelas, tuh kan.