“Lebih baik kau pulang saja, lalu simpan baik-baik mimpi itu
di laci kesayanganmu. Aku sedang tak minat berdebat, berdebat saja kau dengan
dirimu sendiri. Sampai kau kian tersadar bahwa waktu terus meninggalkanmu tanpa
menggubris rengekanmu.” Begitu kata bayangan saya ketika saya meringkuk di
pojokan kamar malam itu.
“Ok, fine. Jadi sudah bosan berdebat dengan saya?”
“Bukan bosan, tapi percuma saja. Percuma jika ujung-ujungnya
kau tak kunjung melangkah. Percuma berbusa-busa membuatmu sadar tapi kau selalu
lebih pandai membuat dirimu sendiri kembali gusar. Kau tidak terlalu butuh
pengertian, kau butuh untuk terus mengenali kenyataan.”
“Katanya tak mau debat, ini apa namanya coba?”
“Aku mau pergi saja.”
“Yakin mau pergi?” ledek saya. Saya paham ia hanya
menggertak. Bagaimana mungkin bayangan bisa meninggalkan tuannya?
“Iya, aku pergi.”
Sekejap. Ia benar-benar pergi. Menghilang.
Sepanjang malam saya terus dihantui kegelisahan. Saya
benar-benar merasa sendirian. Pagi hari ketika saya terbangun, bayangan saya
sudah duduk di sebelah ranjang.
“Cie kangen ye, baru pergi semalam sudah balik saja.”
Ia tidak menjawab, matanya terus menatap saya seolah-olah
tengah menunggu saya menunjukkan rasa bersalah. Saya sangat merasa bersalah,
tapi saya terlalu egois untuk menunjukkan. Gengsi.
“Sudah kewajibanku begini. Menemani kau sepanjang jalan,
menemani kau melakukan apa pun yang kau lakukan sampai nanti akhirnya kau
dikebumikan. Tapi sayang, kau tak pernah berpikir sejauh itu. Kau terlalu
sering merasa seolah-olah kau benar-benar berjuang seorang diri. Tuhan
mengirimku untukmu, menemani apa pun situasimu. Tapi sayang kau teramat jarang
mengajakku berbincang. Kau selalu lebih suka mengutuki waktu ketika kau sedang
tak ada kawan. Kau masih terlalu hobi menyengsarakan dirimu sendiri. Padahal
Tuhan tak pernah benar-benar membiarkan siapapun sendirian. Termasuk kau.”
(via jalansaja)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar