Senin, 14 Desember 2015

Tak Pernah Dibiarkan Sendiri


“Lebih baik kau pulang saja, lalu simpan baik-baik mimpi itu di laci kesayanganmu. Aku sedang tak minat berdebat, berdebat saja kau dengan dirimu sendiri. Sampai kau kian tersadar bahwa waktu terus meninggalkanmu tanpa menggubris rengekanmu.” Begitu kata bayangan saya ketika saya meringkuk di pojokan kamar malam itu.
“Ok, fine. Jadi sudah bosan berdebat dengan saya?”
“Bukan bosan, tapi percuma saja. Percuma jika ujung-ujungnya kau tak kunjung melangkah. Percuma berbusa-busa membuatmu sadar tapi kau selalu lebih pandai membuat dirimu sendiri kembali gusar. Kau tidak terlalu butuh pengertian, kau butuh untuk terus mengenali kenyataan.”
“Katanya tak mau debat, ini apa namanya coba?”
“Aku mau pergi saja.”
“Yakin mau pergi?” ledek saya. Saya paham ia hanya menggertak. Bagaimana mungkin bayangan bisa meninggalkan tuannya?
“Iya, aku pergi.”
Sekejap. Ia benar-benar pergi. Menghilang.
Sepanjang malam saya terus dihantui kegelisahan. Saya benar-benar merasa sendirian. Pagi hari ketika saya terbangun, bayangan saya sudah duduk di sebelah ranjang.
“Cie kangen ye, baru pergi semalam sudah balik saja.”
Ia tidak menjawab, matanya terus menatap saya seolah-olah tengah menunggu saya menunjukkan rasa bersalah. Saya sangat merasa bersalah, tapi saya terlalu egois untuk menunjukkan. Gengsi.
“Sudah kewajibanku begini. Menemani kau sepanjang jalan, menemani kau melakukan apa pun yang kau lakukan sampai nanti akhirnya kau dikebumikan. Tapi sayang, kau tak pernah berpikir sejauh itu. Kau terlalu sering merasa seolah-olah kau benar-benar berjuang seorang diri. Tuhan mengirimku untukmu, menemani apa pun situasimu. Tapi sayang kau teramat jarang mengajakku berbincang. Kau selalu lebih suka mengutuki waktu ketika kau sedang tak ada kawan. Kau masih terlalu hobi menyengsarakan dirimu sendiri. Padahal Tuhan tak pernah benar-benar membiarkan siapapun sendirian. Termasuk kau.”

(via jalansaja)

Tidak ada komentar: